JAYAPURA, iNewsJayapura.id - Setelah bungkam, akhirnya mantan Bupati Mamberamo Tengah (Mamteng) Ricky Ham Pagawak speak up atau angkat bicara terkait dengan vonis Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Makasar. Yang dirasa di luar nalar, karena tak sesuai dengan fakta dan bukti persidangan. RHP sapaan akrabnya meyakini vonis dirinya ini sarat dengan muatan politik.
Diketahui Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Makassar, Sulawesi Selatan yang diketuai Jahoras Siringo Ringo, menjatuhkan vonis 13 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah terhadap terdakwa, Ricky Ham Pagawak dalam kasus suap dan gratifikasi. Tetapi apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan, Kamis (30/11/2023).
Selain itu, majelis hakim juga mewajibkan Bupati Mamberamo Tengah nonaktif itu untuk membayar uang pengganti sebanyak 209 miliar rupiah kepada negara. Jika tidak diganti selama satu bulan, maka diganti dengan harta benda disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Namun jika terpidana tidak punya harta benda, maka diganti dengan pidana penjara selama 5 tahun.
RHP saat di konfirmasi pada minggu siang (3/12/2023). RHP membeberkan beberapa kejanggalan yang dirasa tidak memenuhi unsur keadilan bagi bupati dua periode itu.
“Tanggapan saya setelah mendengarkan vonis hakim Tipikor Pengadilan Makasar. Ini penuh dengan muatan politik. Jadi saya menyatakan pertama bahwa putusan itu bukan putusan hukum atas kasus suap, gratifikasi dan juga TPPU, yang dialamatkan kepada saya. Tetapi ini putusan politik, karena mungkin saya ini melakukan pelanggaran hukum dan mungkin melakukan tindakan pelanggaran hukum makar atau saya seperti teroris atau saya ini mencuri atau mengambil APBD satu kabupaten,”tuturnya mengawali wawancara itu.
Sebagai manusia biasa, setelah mendengarkan vonis, dirinya kecewa. Karena ini sejarah pertama baru terjadi di Tipikor Makassar, bahwa tuntutan jaksa yang biasanya, Hakim putuskan turun hukumannya. Tetapi ini malah hukumannya naik.
“Jadi pada intinya saya merasa bahwa putusan ini penuh dengan unsur politik. Kenapa saya sampaikan itu. Karena saya punya alasan atau dasar yang saya menilai langsung sebelum putusan,”tuturnya.
Selanjutnya RHP yang merupakan salah satu bupati yang berhasil membangun daerahnya dengan kabupaten yang berjuluk Blue City itu, mulai mengisahkan.
"Saat itu saya diantar dari Lapas, ada tempat singgah sementara di ruangan tunggu pengadilan. Ada orang KPK yang sering mendampingi Jaksa mendatangi saya.
Dia memanggil saya disitu dan sampaikan kepada saya, bahwa Pak Bupati pokoknya ada jalan lain kalau sebentar putusan bagaimana ada jalan, yang bisa Pak Bupati tempuh jalan itu. Seperti banding atau kasasi.
Itu sudah disampaikan kepada saya. Padahal belum mendengarkan putusan dan juga itu diucapkan sebelum persidangan."
Kedua tidak biasanya dalam proses persidangan begitu majelis hakim membuka persidangan itu tidak biasa ada pernyataan dari majelis hakim sampaikan kepada terdakwa Jaksa maupun kuasa hukum bahwa nanti putusan ini kepada saudara terdakwa melakukan upaya banding, upaya hukum seperti kasasi atau lainnya.
"Jadi sebelum sidang, saya sudah dikasih tahu. Padahal biasanya pernyataan seperti ini disampaikan setelah putusan. Tetapi ini diawal putusan sudah disampaikan kepada saya.
Ketiga, sebelum putusan mereka sudah masukkan polisi untuk berjaga di belakang Hakim. Ini ada apa sebenarnya.
Setelah mendengar vonis hakim, dirinya merasa bahwa putusan ini bukanlah keputusan hukum. Karena RHP dituduh telah menerima suap, gratifikasi dan TPPU.
“Karena mungkin dianggap saya melawan negara. Karena melakukan makar atau mungkin saya sebagai teroris untuk melawan negara atau saya korupsi APBD satu Kabupaten,”ujarnya dengan nada menahan kesal.
Siap Ajukan Banding dengan vonis Hakim ini. Dirinya bersama dengan Tim pengacara sepakat akan melakukan upaya hukum yakni banding.
RHP akan mengajukan banding. “Jadi upaya hukum yang akan kami lakukan ini, karena sesuai yang didakwakan dari Jaksa KPK yaitu suap gratifikasi dan TPPU. Setelah itu dalam dakwaan ada tuntutan jaksa.
Mirisnya, didalam tuntutan itu, sebagian besar adalah dakwaan jaksa, yang tanpa melihat fakta persidangan. Tanpa melihat hal-hal yang sudah muncul di persidangan. Hal itu tidak dipakai satupun oleh penuntut umum.
“Jadi mereka hanya copy paste dari dakwaan,”ungkapnya.
Selanjutnya tuntutan itu diterima penuh oleh Hakim. Dimana Jaksa menuntutnya dengan 12 tahun penjara. Kemudian ditambah satu tahun hukuman oleh hakim. Sehingga menjadi 13 tahun.
“Saya ini bukan penjahat negara, saya ini bukan pencuri yang merugikan negara. Dimana saya merugikan negara dan masyarakat Mamberamo Tengah. Apakah saya pernah menggagalkan semua program pemerintahan selama saya memimpin,”tanyanya.
Selama dirinya memimpin terbukti tidak ada satupun pekerjaan yang tergantung atau tidak selesai. Semua bisa diselesaikan dengan baik. Karena merasa tak adil atas vonis hakim inilah. Sehingga dirinya mengambil sikap untuk melakukan Upaya banding.
“Kami lakukan banding, karena ada fakta-fakta persidangan yang majelis hakim tidak perhitungkan dan tidak menjadi hal itu dasar putusan mereka pada hari Kamis (30/12/2023),”bebernya.
Banyak Hal Terungkap di Persidangan tapi Hakim tak pertimbangkan. Pada kesempatan itu, RHP memberikan contoh di dalam kasus suap yang diduga dilakukan oleh Simon Pampang, Jusiendra Pribadi Pampang dan Marten Toding dengan nilai uang yang cukup signifikan sekitar 75 miliar rupiah lebih.
“Fakta persidangan dari keterangan Simon Pampang, Jusiendra Pribadi Pampang dan Marten Toding sendiri mereka tidak menyuap saya. Ini yang perlu digaris bawahi bahwa mereka bukan suap saya. Tetapi mereka bantu saya. Mereka membantu saya. Karena saya mau membantu orang seperti membangun gereja, membangun masjid, rumah - rumah ibadah maupun LSM siapapun, orang sakit dan orang duka. Itu yang saya meminta bantuan,”ungkapnya.
Tiga orang ini hanya membantu dan bukan membuat kesepakatan dengan dirinya tentang fee, tentang pembagian jatah atau persenan.
Dalam fakta persidangan itu tidak pernah terjadi. Tetapi luar biasa dengan keputusan, Ketua Majelis Hakim menudingnya bahwa dirinya terima fee.
“Dalam fakta persidangan tidak ada keluar satupun dari mulut ketiga orang. Ini bahwa saya terima suap. Uang Rp. 75 miliar itu saya tidak pernah terima,”tegasnya.
Lanjutnya seperti Jusiendra Pribadi Pampang, memberikan uang 75 milliar rupiah lebih. Dengan cara bagaimana karena dalam fakta persidangan hal itu tidak dijelaskan.
Ada contoh kecil di mana ada cek yang dikeluarkan Jusiendra Pribadi Pampang dalam bentuk cek sejumlah Rp. 11 miliar di tahun 2015 dan dikirim ke nama Sukri, Ansar, Ai dan Yosep.
Dalam fakta persidangan Jusiendra Pribadi Pampang hadir dan mengatakan di tahun 2015 itu dirinya belum melakukan pengerjaan. Dan bukti cek bukan dari dirinya. Bukan diberikan kepada kepada ajudan Sukri, Ansar dan juga kepada dirinya sebagai Bupati.
“Tetapi kenapa hakim tidak menjadikan itu sebagai dasar. Itu satu bukti dan fakta persidangan. Ada rekaman lengkap,”tanyanya.
Kedua Simon Pampang, yang pernah mengirim uang ke rekening Ester B itu menggunakan rekening Bank Papua melalui slip setoran yang pengirimnya tertulis atas nama Simon Pampang.
Tetapi terbukti dalam persidangan uang yang dikirim Simon Pampang ke Ester B di rekening Bank Mandiri itu telah dibantah yang bersangkutan dan mengatakan tidak pernah mengirim uang sebanyak 9 milliar rupiah. Tetapi nama dia (Simon Pampang-red) dipakai. Ini juga hakim tidak mempertimbangkan.
“Itu ditunjukkan dan bukti setoran bank diperlihatkan di muka persidangan dan Simon mengatakan itu bukan dirinya. Tetapi ini juga tidak dipertimbangkan oleh hakim dan dianggap saya terima,”sesalnya.
Editor : Damn
Artikel Terkait