MIMIKA, iNewsJayapura.id - Di ufuk timur nusantara, tersembunyi sebuah kabupaten yang namanya kerap bergema dalam bisikan berita dan cerita. Mimika, terletak di jantung Provinsi Papua, Mimika bukan dikenal karena keramaian kota atau gemerlap teknologi, melainkan karena rahasia besar yang terkandung di perut buminya kekayaan alam yang tiada duanya.
Namun, di balik cerita tentang kekayaan alam itu, terselip lembar-lembar kosong yang belum tersentuh pena pembangunan. Kekayaan yang seharusnya menjadi anugerah, belum sepenuhnya menjelma menjadi kesejahteraan bagi seluruh anak negeri. Di Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, kehidupan masih bergelut dengan keterbatasan. Sebuah wilayah yang tampak terlupakan oleh tangan-tangan pembangunan, menanti harapan seperti fajar yang lambat menyingsing di balik gunung.
Di sinilah cerita bermula. Bukan dari hiruk pikuk kota, tapi dari sebuah tempat yang jauh dari sorotan, tempat di mana loreng-loreng hijau datang bukan untuk berperang, melainkan untuk membangun mimpi.
Langkah Perubahan
Dansatgas dan anggota satgas Kodim 1710/Mimika
Harapan tak hanya datang dari janji, tapi dari langkah nyata. Dalam semangat menyatukan negeri, TMMD—TNI Manunggal Membangun Desa menjadi wajah kasih sayang negara yang menjangkau hingga pelosok paling sunyi. Program ini bukan sekadar agenda pembangunan, melainkan pesan bahwa tak ada sejengkal tanah pun di Indonesia yang dilupakan.
Di tahun 2025, melalui tangan pemerintah daerah dan Kodim 1710/Mimika, TMMD Ke-124 hadir membawa angin perubahan ke Kampung Pigapu, Distrik Iwaka. Bukan deru senjata yang menggema di kampung ini, melainkan derap kaki para prajurit yang datang dengan niat mulia. Mereka tak membawa amarah, tapi membawa harapan. Di pundak mereka tertambat program-program pembangunan yang akan menjelma menjadi rumah, jalan, jembatan dan lebih dari itu, kehidupan baru.
Dengan mengusung tema "Dengan Semangat TMMD Mewujudkan Pemerataan Pembangunan dan Ketahanan Nasional di Wilayah", TMMD bukan hanya tentang membangun infrastruktur, melainkan menanam ketahanan, menyulam persatuan, dan menyalakan kembali cahaya di mata masyarakat Kampung Pigapu.
Diantara Kayu dan Harapan
Suara palu bersahut-sahutan, memantul dari dinding-dinding hutan dan menyatu dengan nyanyian alam. Di sela gemerisik dedaunan dan desiran angin pesisir, terdengar ritme gergaji yang membelah kayu bukan dengan amarah, melainkan dengan harapan. Hari itu, Pigapu tidak hanya menjadi tempat tinggal, tapi berubah menjadi ruang kerja besar tempat mimpi-mimpi mulai dibangun.
Pembangunan rumah panggung tipe 36
Lima rumah panggung tipe 36 perlahan berdiri, satu per satu, seperti bunga yang tumbuh dari tanah merah. Potongan kayu yang awalnya tergeletak tak berarti kini saling mengikat erat oleh paku dan semangat. Tak ada arsitek megah, tak ada alat berat yang menderu. Tapi rumah-rumah itu terbangun dengan cinta dari tangan-tangan prajurit yang selama ini dikenal dengan disiplin dan senjata, kini justru menyalurkan keahlian sebagai tukang yang teliti dan sabar.
Serat-serat kayu dibiarkan tampak alami, dilapisi plitur yang memberi kilau hangat di bawah sinar matahari. Rumah-rumah itu tak mewah, tapi berwibawa. Tak megah, tapi bermakna. Karena di balik dinding-dinding kayu itu, tersimpan janji bahwa tak ada satu pun warga negara yang dibiarkan tertinggal, bahkan di ujung timur yang paling sunyi.
Satgas TMMD Kodim 1710/Mimika dan warga bahu-membahu, tanpa batas pangkat atau status. Tertawa bersama saat kayu sedikit miring, saling mengejek ringan jika palu terpukul jari. Tapi tak ada keluhan, hanya semangat yang terus mengalir, seperti mata air dari dalam tanah. Anak-anak berlarian di sekitar, mata mereka berbinar menyaksikan rumah impian mereka lahir dari gotong royong dan kasih sayang.
Hari-hari berlalu, dan rumah-rumah itu pun rampung. Namun lebih dari bangunan fisik, yang terbentuk di Pigapu adalah rasa: rasa memiliki, rasa dihargai, dan rasa disatukan.
Jembatan Menuju Harapan
Rumah-rumah baru itu kini berdiri gagah, seolah menyapa langit dan menantang waktu. Namun di antara mereka dan langkah kaki penghuninya, terbentang parit yang sunyi tapi tak bisa diabaikan. Saat pasang laut datang, air memenuhi cekungan itu, menjadikannya batas yang diam-diam memisahkan kehidupan dan kenyamanan.
Pembangunan Jembatan
Papan-papan mulai direntangkan, satu per satu, dengan kehati-hatian yang penuh perhitungan. Penopang kayu dipancangkan dalam-dalam ke tanah yang lembab, bukan sekadar menopang beban badan, tapi juga beban harapan. Di bawah terik matahari, para prajurit TMMD memulai pembangunan jembatan. Tak ada mesin berat, hanya keringat yang menetes, otot yang menegang, dan semangat yang tak tergoyahkan.
Jembatan itu bukan sekadar lintasan kayu yang menghubungkan dua sisi. Ia adalah wujud nyata dari perhatian yang selama ini hanya terdengar dalam janji. Bukan asal jadi, melainkan dibangun dengan ketelitian seorang penjaga negeri agar ia tak hanya bertahan dari musim, tapi juga menjadi bagian dari kehidupan panjang masyarakat Kampung Pigapu.
Langkah-langkah kecil anak-anak akan melintasi jembatan itu. Tawa akan mengalir di atasnya. Dan di bawahnya, air pasang tak lagi menjadi penghalang melainkan saksi dari tekad manusia yang tak pernah surut.
Doa yang Direnovasi
Di tengah kampung yang perlahan berubah, berdiri sebuah bangunan sederhana namun sakral Gereja Katolik Stasi Santo Paulus Pigapu. Bukan bangunan megah dengan pilar marmer atau kaca patri, tapi tempat suci yang tak pernah absen dari bisikan doa dan nyanyian umat. Di sinilah harapan dilangitkan, di antara dinding-dinding kusam yang telah menua bersama waktu.
Renovasi Gereja Katolik Stasi Santo Paulus Pigapu
Namun, gereja itu tak luput dari luka. Lantainya lembab, atapnya bocor, dan bangkunya mulai rapuh. Meski begitu, setiap minggu, warga tetap datang. Mereka duduk dengan bangku seadanya, bersyukur di tengah keterbatasan, meyakini bahwa iman tak diukur dari kemewahan tempat beribadah, melainkan dari hati yang datang dengan tulus.
Dan ketika Satgas TMMD Kodim 1710/Mimika menyentuh gereja itu, mereka melakukannya dengan hati-hati dengan hormat, seolah tengah memperbaiki bagian dari jiwa kampung ini. Mereka tidak hanya membawa paku dan papan, tapi juga membawa pengertian bahwa ibadah sama pentingnya dengan rumah tinggal, bahwa rohani yang kuat adalah pondasi ketahanan yang sejati.
Lantai yang dulu lembab kini sudah kokoh dan rata, memberi kenyamanan bagi lutut yang bersimpuh dalam doa. Atap yang dulu meneteskan air hujan kini telah teguh, melindungi umat dari cuaca tanpa perlu lagi memindah kursi saat ibadah. Dinding-dinding dibersihkan, kayu-kayu diperkuat, dan altar dirapikan bukan sekadar renovasi, tapi pemulihan martabat.
Kini, setiap lonceng yang berdentang dari gereja itu membawa gema baru: bahwa di Pigapu, iman dan pembangunan berjalan beriringan. Bahwa negara hadir, bukan hanya untuk membangun jembatan dan rumah, tapi juga tempat di mana hati bertemu dengan Tuhan.
Tak Hanya Bangunan, Tapi Jiwa
TMMD ke-124 bukan sekadar soal bangunan fisik yang berdiri kokoh, melainkan tentang membangun jiwa dan harapan masyarakat Pigapu. Di sela-sela pembangunan rumah dan jembatan, satgas tak pernah lupa membawa ilmu dan kasih.
Pemberian bantuan jaring kepada warga
Penyuluhan tentang pemanfaatan hasil laut diberikan dengan hangat, mengajarkan warga bagaimana memaksimalkan potensi alam yang melimpah di sekitar mereka. Bantuan jaring ikan pun diserahkan, membuka peluang baru untuk mengisi perut dan menambah penghasilan.
Tak hanya itu, edukasi tentang stunting ancaman diam yang mengintai generasi penerus disampaikan dengan sabar dan penuh perhatian. Bahaya narkoba, lem aibon, dan miras, yang sering merusak kehidupan, menjadi materi penting yang mereka tanamkan agar warga dapat menjaga diri dan keluarganya.
Di ruang kelas sederhana, ayer proyektor menampilkan film-film pembangunan, membuka wawasan anak-anak dan orang dewasa. Suara tawa anak-anak bergema riang saat mereka belajar dengan metode Gasing, sebuah cara baru yang menyenangkan untuk memahami pelajaran, membuat mereka lupa akan kerasnya kehidupan sehari-hari.
Di sini, dalam kehangatan kebersamaan, ilmu dan harapan tumbuh seiring dengan rumah yang berdiri mengukir masa depan yang lebih cerah untuk Pigapu.
Sumur Harapan di Tanah Gambut
Tanah Pigapu adalah tanah yang lembab, dikelilingi rawa dan didekap lautan. Di bawahnya, air melimpah, tapi tak selalu bisa diminum. Air bersih di sini adalah kemewahan yang sering kali hanya datang dalam mimpi. Di musim kemarau, ember-ember kosong berbaris menunggu hujan yang tak pasti. Di musim hujan, genangan justru membawa penyakit.
Pemasangan pipa dari sumur bor ke tangki penampungan
Namun, pagi itu, terdengar dentuman lembut dari mesin bor yang menembus tanah. Lima titik dipilih dengan cermat, dan lima sumur mulai menggali bukan hanya air, tapi harapan. Satgas TMMD bekerja dalam diam, peluh mereka menetes bersama debu tanah yang terangkat dari kedalaman bumi. Setiap tetes air yang keluar dari pipa pertama disambut seperti kabar kelahiran baru. Anak-anak menari di sekitarnya, para ibu menatap dengan mata berkaca.
Pembangunan MCK untuk menjaga sanitasi
Di samping sumur, berdiri bak penampungan air dan bangunan MCK umum yang kokoh. Dindingnya dicat bersih, dengan lantai keramik yang tak licin. Bagi orang kota, mungkin ini biasa. Tapi di Pigapu, ini adalah jawaban dari doa yang tak terucap selama bertahun-tahun. Kini, para ibu bisa mencuci tanpa berjalan jauh, anak-anak bisa mandi dengan air yang jernih, dan para lansia tak lagi harus memilih antara kehausan dan air kotor.
TNI Manunggal Air bukan lagi sekadar slogan di spanduk. Ia menjadi nyata di depan mata terasa di telapak tangan yang menciduk air bersih, tercium di aroma sabun yang akhirnya digunakan tanpa rasa bersalah karena harus hemat.
Dan lebih dari itu, sumur-sumur ini menjadi simbol: bahwa di tanah sejauh Pigapu pun, kehidupan bisa tumbuh sejernih mata air asal ada niat, dan ada kasih yang dibawa dalam loreng.
Ketahanan Pangan, Dari Lahan Tidur ke Kehidupan
Pendampingan pemanfaatan lahan tidur untuk ketahanan pangan
Di balik deru mesin bor dan palu pembangunan, ada kehidupan lain yang tengah disiapkan di tanah Pigapu. Lahan tidur seluas 2,5 hektar yang selama ini dibiarkan liar, perlahan dibuka. Semak belukar dibersihkan, tanah digemburkan, dan aroma lumpur bercampur peluh mewarnai pagi-pagi para prajurit dan warga. Tidak ada traktor mewah, hanya cangkul, parang, dan semangat gotong royong yang menyatu dalam irama kerja.
Pemberian bibit ikan lele
Di atas tanah itu, bibit-bibit kehidupan ditanam. Kelompok tani yang selama ini berjalan sendiri, kini mendapat suntikan harapan. Mereka menerima bibit unggul, obat tanaman, dan alat-alat pertanian bukan sekadar bantuan, tetapi juga pengakuan bahwa mereka adalah tulang punggung desa ini.
Di sisi lain kampung, kolam-kolam terpal berdiri berjejer, airnya jernih beriak pelan di bawah sinar matahari. Satgas TMMD menyerahkan bibit lele ikan-ikan kecil yang tampak rapuh, namun menyimpan potensi besar. Dalam tubuh mungil mereka, ada harapan akan gizi yang lebih baik, ada janji akan penghasilan yang perlahan tumbuh.
Anak-anak berkerumun di tepi kolam, menyaksikan saat bibit lele dilepas. Mereka bersorak kecil, seolah menyambut kawan baru yang akan tumbuh bersama mereka. Kelak, mereka akan belajar bahwa pembangunan bukan hanya soal tembok dan jembatan, tapi juga tentang perut yang kenyang, dan tangan yang mampu memanen hasil sendiri.
Penanaman pohon
Dan sebagai penyeimbang dari semua itu, dua hektar tanah lagi dijadikan hutan kecil dengan deretan pohon keras yang ditanam bersama. Tangan-tangan kecil ikut menggali lubang, menanam pohon, dan menimbunnya dengan tanah. Ada pohon jati, meranti, dan sengon yang mungkin tidak akan dinikmati generasi sekarang, tapi akan menjadi pelindung bagi anak cucu mereka kelak.
Di sinilah harmoni dibangun. Antara manusia dan tanah. Antara pembangunan dan alam. Antara kebutuhan hari ini dan warisan masa depan. Dan semuanya lahir dari satu hal yang sama: cinta untuk negeri, yang diwujudkan lewat kerja nyata.
Bukan Sekadar Pembangunan Fisik
Namun, Satgas TMMD tidak hanya meninggalkan jejak melalui bangunan dan infrastruktur. Mereka juga menanam benih yang tak terlihat oleh mata, tapi tumbuh dalam pikiran dan kesadaran. Di balai kampung, di kolong rumah, bahkan di teras gereja, para prajurit bergantian berbicara, bukan dengan nada militeristik, tapi seperti kakak kepada adik, orangtua kepada anak—mengajak, mengingatkan, dan menguatkan.
Pelaksanan penyuluhan sebagian dari kegiatan non fisik
Penyuluhan demi penyuluhan dilaksanakan. Tentang bagaimana memanfaatkan hasil laut agar tak hanya jadi konsumsi, tapi bisa menjadi sumber ekonomi. Tentang pentingnya menjaga kesehatan, mengenali gejala stunting, dan merawat anak sejak dalam kandungan. Para ibu menyimak, bertanya dengan malu-malu, lalu mengangguk karena ilmu yang datang kali ini terasa dekat, membumi, dan bisa langsung dipraktikkan.
Di lain waktu, para remaja diajak berkumpul. Mereka mendengar kisah tentang bahaya narkoba, lem aibon, miras racun-racun yang pernah mencuri masa depan dari banyak pemuda di pelosok negeri. Tapi di Pigapu, para prajurit hadir sebagai penutur yang pernah melihat kehancuran itu dari dekat, dan kini berusaha menjaga agar jangan sampai jejak kelam itu menyentuh tanah mereka.
Penyuluhan hukum juga diberikan—tentang KDRT, peran hukum dalam masyarakat, hak dan kewajiban warga. Bagi warga Pigapu, itu bukan hanya materi, tapi cahaya baru untuk membedakan mana salah mana benar, mana diam karena takut dan mana bicara karena benar.
Dan ketika malam datang, layar lebar dibentangkan. Film-film tentang pembangunan, tentang Indonesia, diputar di bawah bintang-bintang. Anak-anak duduk bersila, mata mereka berbinar. Mereka menonton bukan hanya cerita di layar, tapi juga kemungkinan tentang masa depan mereka sendiri.
Lalu ada satu metode yang membawa suasana berbeda—metode GASING, Gampang, Asik, dan Menyenangkan. Para pelajar diajak belajar matematika bukan dengan beban, tapi dengan tawa. Angka-angka yang dulu tampak seperti musuh, kini berubah jadi permainan yang menyenangkan. Para guru tersenyum lega, karena untuk pertama kalinya, belajar tak lagi membuat anak-anak menghindar.
Semua itu menjadi jalinan utuh antara fisik dan non-fisik, antara rumah yang berdiri dan pikiran yang tumbuh, antara tanah yang dibuka dan jiwa yang dibangkitkan.
Dan di tengah semua itu, Satgas TMMD berjalan pelan namun pasti, meninggalkan bukan hanya bangunan, tapi juga kesadaran bahwa pembangunan sejati adalah ketika manusia merasa dihargai, didengarkan, dan diajak berjalan bersama.
Pemimpin yang Hadir, Bukan Sekadar Memimpi
Di balik kesibukan pembangunan, di tengah barisan prajurit yang bekerja tanpa lelah, ada satu sosok yang selalu hadir dengan cara berbeda. Letkol Inf. M. Slamet Wijaya, M.A—Dansatgas 1710/Mimika bukan hanya seorang pemimpin lapangan, tapi juga penjaga hati. Ia datang ke Kampung Pigapu tak hanya dengan seragam dan pangkat, tapi dengan misi yang lebih besar membangun, menguatkan, dan mengasihi.
Kedekatan Letkol Inf. M. Slamet Wijaya dengan anak-anak
Ia tidak duduk di balik meja sambil mengamati dari jauh. Ia turun langsung ke lapangan, menembus lumpur, debu, dan panas. Warga mengenalnya bukan karena pidato panjang, tapi karena senyuman yang tak pernah absen. Anak-anak menyambutnya dengan tawa, bukan takut. Karena dari balik lorengnya, selalu ada coklat yang ia keluarkan dari saku pemberian kecil, tapi maknanya dalam.
Baju loreng yang biasanya diidentikkan dengan ketegasan dan kedisiplinan, kini berubah makna menjadi simbol kehangatan dan perlindungan. Kamera wartawan menangkap momen-momen tulus, saat senyum manisnya merekah tanpa rekayasa, melukiskan kisah seorang pemimpin yang tidak hanya memerintah, tapi juga merangkul.
Letkol Inf. M. Slamet Wijaya bukan sekadar pemimpin operasi. Ia menjadi wajah dari perhatian negara yang hadir bukan dengan kesombongan, tapi dengan kepedulian. Ia tahu, bahwa pembangunan tak akan pernah sempurna tanpa cinta yang menyertainya.
Menyatu, Tak Sekadar Singgah
Hari-hari bergulir tanpa henti, dan batas antara prajurit dan warga Pigapu mulai luntur, bagai kabut pagi yang menghilang disapu sinar matahari. Mereka tak lagi berdiri sebagai dua dunia yang berbeda melainkan bersatu dalam langkah, tawa, dan kerja keras yang sama.
Kedekatan satgas TMMD dengan anak-anak
Mereka makan bersama di meja sederhana, tertawa lepas di bawah langit terbuka, dan berbagi peluh di tengah teriknya siang. Pigapu tidak lagi sekadar titik kecil di peta, melainkan rumah yang sesungguhnya tempat di mana prajurit dan rakyat menjadi satu dalam ikatan tanpa kata Indonesia.
Kebersamaan itu tumbuh bukan karena aturan, tapi karena hati yang terbuka. Satgas TMMD Kodim 1710/Mimika tak lagi sekadar tamu, mereka telah menjadi bagian dari keluarga besar Pigapu. Tak jarang, para prajurit menyuapkan nasi ke anak-anak kecil yang malu-malu duduk di pangkuan. Tak ada rasa canggung, hanya kasih sayang yang mengalir tulus bagai seorang ayah, kakak, atau paman yang sedang merawat darah dagingnya sendiri.
Satgas TMMD menyuapi salah satu anak
Anak-anak pun tak lagi takut pada loreng. Mereka memanggil "Om TNI" dengan suara riang, berlari menyambut setiap kedatangan. Mereka tahu, di balik rompi, helm, dan sepatu laras, ada hati yang lembut hati yang datang bukan untuk memerintah, tapi untuk merangkul.
Hubungan yang terbangun bukan karena perintah negara semata, tapi karena kepercayaan yang lahir dari keringat, waktu, dan perhatian. Inilah bentuk lain dari pembangunan ketika manusia tidak hanya membangun desa, tapi juga membangun keluarga baru di tanah yang dulu asing.
Pigapu Tak Lagi Sendiri
Senyum kebahagiaan
Kini, langkah-langkah berat itu bersiap untuk kembali. Palu dan gergaji dikemas, helm dan rompi disimpan, dan derap prajurit akan perlahan menghilang dari jalan-jalan kampung. Tapi jejak mereka tak akan pernah benar-benar pergi. Ia tertinggal di rumah-rumah yang kini berdiri tegak, di jembatan yang menghubungkan harapan, di kolam lele yang menghidupi dapur, dan di senyum anak-anak yang setiap pagi menatap dunia dengan mata berbinar.
TMMD Ke-124 bukan sekadar program. Ia adalah wujud nyata dari janji negara bahwa tak ada wilayah yang terlalu jauh untuk dijangkau, tak ada rakyat yang terlalu kecil untuk diperhatikan. Dan Kampung Pigapu menjadi saksi bahwa pembangunan bukan hanya tentang beton dan kayu, tapi tentang kasih sayang, ketulusan, dan kehadiran yang memberi arti.
Letkol Inf. M. Slamet Wijaya, M.A dan seluruh Satgas TMMD Kodim 1710/Mimika telah menorehkan lebih dari sekadar laporan kegiatan. Mereka telah meninggalkan cerita, kenangan, dan hubungan yang akan terus dikenang oleh generasi Pigapu. Mereka datang sebagai prajurit, tapi pulang sebagai keluarga.
Di langit yang sama, awan masih bergelayut. Ombak masih menggulung perlahan. Tapi kini, Kampung Pigapu punya cerita baru—tentang harapan yang diukir dengan tangan, tentang pembangunan yang lahir dari cinta, dan tentang masa depan yang mulai disulam, satu langkah demi satu langkah.
Dan kini warga Pigapu tahu mereka tidak sendiri. Negeri ini, dengan segala keragaman dan jaraknya, telah menjangkau mereka. Dan di tanah paling timur itu, Indonesia berdiri sedikit lebih tegak.
Editor : Darul Muttaqin
Artikel Terkait