Peluh dan Pelukan di Bumi Cenderawasih Bukti Cinta Negeri dalam Aksi Nyata

Nathan Making
Senyum kebahagiaan Satgas TMMD 124 Kodim 1710 Mimika bersama anak-anak di Kampung Pigapu. (Foto: Nathan Making)

MIMIKA, iNewsJayapura.id - Angin kencang dari Laut Arafura menerpa wajah saat kendaraan kami perlahan melintasi jalan tanah yang membelah rawa-rawa dan rimbunnya hutan mangrove. Kabut tipis menyelimuti cakrawala pagi Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, menghadirkan siluet rumah-rumah panggung yang berdiri rapuh di tepi peradaban.

Suara gemerisik dedaunan, kicau burung endemik Papua, dan aroma asin laut menyatu dalam harmoni alam Bumi Cenderawasih tanah yang diberkati kekayaan alam, namun masih dihiasi perjuangan panjang menuju kesejahteraan. Inilah Mimika, sebuah wilayah yang tidak hanya menghadap laut, tetapi juga menatap langsung ke wajah tantangan zaman dari keterisolasian geografis hingga ketimpangan pembangunan.

Kabupaten Mimika adalah bagian dari bumi pertiwi yang masih menyimpan ruang-ruang sunyi dari sentuhan pembangunan. Di tengah pesona alamnya yang liar dan megah, tersembunyi kesenjangan yang tak kasatmata. Akses terhadap fasilitas dasar masih terbatas, namun masyarakatnya tidak kehilangan harapan. Justru dari keterbatasan itu tumbuh solidaritas, kehangatan antarwarga, dan semangat untuk terus bertahan. Mereka tidak meminta kemewahan mereka hanya merindukan kehadiran. Dan ketika TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-124 hadir, bukan hanya program yang datang, melainkan juga sebuah jawaban bahwa negara ini tak pernah melupakan mereka.

Kami datang bukan hanya membawa alat tukang, palu, dan seragam loreng. Kami datang membawa janji-janji bahwa negara hadir bukan sebagai tamu, tetapi sebagai keluarga. TMMD adalah bentuk cinta dalam kerja nyata, pelukan hangat dari Ibu Pertiwi yang berwujud dalam rumah-rumah panggung, jembatan sederhana, gereja yang diperbaiki, dan sumur bor yang menggali harapan.

Setiap keringat yang menetes dari dahi prajurit adalah simbol tekad bahwa pembangunan bukan hanya tentang beton dan kayu, tapi tentang membangun kepercayaan dan mengobarkan semangat hidup bersama rakyat.

 


Kehadiran Bupati Mimika, Bapak Johannes Rettob dalam Upacara pembukaan TMMD Ke 124

Pigapu Bersolek Sambut Perubahan

Tanggal 6 Mei 2025. Kampung Pigapu seperti tengah berdandan layaknya seorang anak gadis menyambut pesta. Sejak pagi, udara dipenuhi aroma persiapan dan semangat gotong royong. Bambu-bambu berdiri tegak, mengangkat merah putih dengan bangga, sementara umbul-umbul berwarna-warni menari lincah mengikuti arah angin yang datang dari Laut Arafura.

Warga bergotong royong menghias jalan-jalan kecil dengan kreasi sederhana namun sarat makna. Ini bukan sekadar sambutan, ini adalah bentuk cinta mereka kepada negeri, yang hadir dalam wajah para prajurit TNI.

Santap Sehat Bersama Masyarakat

Upacara pembukaan digelar dengan penuh khidmat, dibalut kehangatan, suara doa mengiringi langkah kami, dan setelahnya, tawa pun terdengar dalam santap sehat bersama masyarakat sebuah momentum yang melampaui sekadar makan bersama,  di sana, tak ada sekat antara pejabat, prajurit, dan warga.

Di bawah tenda sederhana yang berdiri di tengah lapangan terbuka, kehangatan tak hanya berasal dari sinar matahari pagi, tetapi juga dari kebersamaan, kami menyantap hasil bumi dan laut kampung ini, merasakan bahwa inilah bentuk paling nyata dari kemanunggalan.

Bupati Mimika, Bapak Johannes Rettob, hadir dan bersalaman dengan warga satu per satu, menunjukkan bahwa negara tak hanya melihat, tapi juga hadir dan merasakan.

Di atas pundak Satgas TMMD, kami sadari, bukan hanya tertulis tugas membangun rumah atau jembatan. Yang jauh lebih berat adalah tugas membangun kebersamaan, harapan, dan rasa percaya. Tugas untuk memastikan bahwa setiap anak Pigapu merasa didengar, setiap orang tua merasa dihormati, dan setiap warga tahu bahwa negeri ini tak akan pernah menyerah pada keterpencilan. Kami tidak datang untuk diistimewakan. Kami datang untuk menyatu menjadi bagian dari cerita mereka.

Satu Paku, Satu Harapan

Tak ingin momentum terbuang, kami bergerak cepat. Setelah upacara pembukaan, Satgas TMMD segera memulai apa yang telah lama dirindukan warga: pembangunan nyata yang menyentuh langsung kehidupan mereka.

Kami mendistribusikan material kayu, paku, seng, dan alat pertukangan dengan penuh semangat, seolah tenaga kami dipacu oleh antusiasme warga yang ikut menyingsingkan lengan baju. Di titik-titik yang telah ditentukan, pondasi rumah panggung mulai digali, seakan bumi pun ikut memberi restu.

 

Pembuatan rumah panggung Type 36

Di tengah terik matahari dan tanah basah yang masih menyimpan jejak hujan malam, gergaji mulai bersuara mengerat kayu dengan irama tajam namun teratur. Setiap palu yang dihentakkan seakan memaku lebih dari sekadar kayu; ia memaku harapan, memaku ikatan kebersamaan.

Potongan-potongan kayu yang tadinya tak beraturan kini mulai bersatu, membentuk dinding, tiang, dan atap. Seperti puzzle yang menyatu perlahan namun pasti, satu demi satu rumah panggung Type 36 mulai menampakkan wujudnya. Anak-anak berdiri di sisi pembangunan, mata mereka berbinar-binar menyaksikan bagaimana rumah impian mulai berdiri dari tanah mereka sendiri.

"Bapak tentara, ini rumah baru su jadi betul kah? Beta tra mimpi ini?" tanya seorang bocah dengan mata berbinar, tangannya memegang palu kecil yang diberikan salah satu anggota Satgas. Di sisi lain, seorang bapak tua yang ikut membantu membawa papan berkata sambil tersenyum, "Torang pung kampung sekarang bagini... luar biasa e. Dulu kosong, sekarang ko lihat sendiri Tuhan kirim TNI untuk datang bantu torang."

Bagi kami, ini bukan sekadar membangun rumah. Ini adalah membangun tempat berlindung, membangun harga diri warga yang selama ini harus berdamai dengan keterbatasan. Setiap bilah papan yang disusun, setiap genting yang dipasang, adalah wujud dari janji kami bahwa negara hadir tidak hanya untuk melihat, tapi untuk bekerja bersama, menyatu dalam peluh dan debu, demi masa depan yang lebih layak untuk warga Pigapu.

Jembatan Sederhana Untuk Bahagia

Namun tak semua jalan menuju harapan selalu mudah. Parit-parit yang membelah kampung menjadi tantangan tersendiri. Air laut yang pasang bisa datang tiba-tiba, memenuhi celah tanah dan menggenangi akses jalan.

Di sinilah kami menyadari bahwa membangun rumah saja belum cukup kami harus membangun akses yang menghubungkan mimpi dengan kenyataan. Maka, kami putuskan untuk membangun jembatan kayu, bukan hanya sebagai penghubung fisik, tetapi juga simbol keterhubungan antarhati.

Jembatan untuk akses menuju rumah yang sedang dalam pengerjaan

Kayu-kayu kami susun dengan penuh perhitungan. Tiap papan yang diletakkan di atas balok penyangga terasa seperti menyusun harapan satu per satu. Di bawahnya, air rawa yang pekat mengalir pelan, menyaksikan kerja senyap kami. Warga pun ikut turun tangan, memikul kayu di pundak, menancapkan pasak, dan membentangkan papan. Kebersamaan ini bukan kami ciptakan, tapi kami temukan hidup dan tumbuh di tengah masyarakat yang sederhana, namun kuat.

Kini jembatan-jembatan kayu itu telah terhampar, berdiri sederhana namun kokoh. Anak-anak kembali berlari kecil melintasinya, menuju rumah-rumah panggung yang mulai berdiri. Jembatan ini tak bertingkat, tak berseni tinggi, namun ia mampu menjawab satu hal penting rasa aman. Aman untuk berjalan, aman untuk tumbuh, dan aman untuk bermimpi. Dan kami, para prajurit, merasa bangga bisa menjadi bagian dari penghubung itu bukan hanya bagi rumah, tetapi bagi masa depan.

Proses pemasangan tandon air di sasaran sumur bor

Ketika Air Tak Lagi Asin

Mimika adalah tanah basah yang dikelilingi air, namun bukan berarti segalanya mengalir jernih. Ironi itu begitu nyata kami saksikan di Kampung Pigapu. Meski rawa-rawa dan aliran air laut mengitari kehidupan warga, air bersih justru menjadi barang langka.

Tanah gambut yang pekat menjadikan air tanah keruh, berwarna cokelat tua, berbau asam, dan tidak layak konsumsi. Banyak warga harus berjalan jauh hanya untuk mengambil air yang masih bisa dipakai, sementara sebagian lainnya terpaksa menerima apa adanya, karena tak ada pilihan.

MCK yang sudah selesai dan siap di gunakan

Melihat kenyataan itu, program TNI AD Manunggal Air bukan hanya prioritas, tapi keharusan. Kami membangun lima unit sumur bor, menyertai dengan bak penampungan air dan fasilitas MCK umum. Prosesnya tak mudah melawan kerasnya tanah dan kedalaman sumur yang harus ditembus.

Namun setiap kali semburan air pertama memancar dari mesin bor, wajah warga yang menyaksikan bersinar. Ada harapan yang ikut memancar dari air itu, bening dan segar seperti masa depan yang mulai terlihat.

Kini, di sudut-sudut kampung, suara air yang mengalir dari keran menjadi suara baru kehidupan. Anak-anak mulai belajar mencuci tangan dengan sabun, ibu-ibu bisa memasak tanpa harus menyimpan air di ember selama berhari-hari. Air bersih bukan hanya soal sanitasi, tapi soal martabat manusia. Dan melalui sumur-sumur itu, kami hadir untuk memulihkannya. TNI hadir bukan hanya sebagai pelindung, tapi sebagai penyambung kebutuhan paling dasar manusia air yang layak untuk hidup.

Perhatian Untuk Generasi Bangsa

Di balik senyum anak-anak Pigapu, tersimpan cerita yang belum tentu lucu. Banyak dari mereka lahir dan tumbuh dalam kondisi kekurangan gizi, dengan tubuh kecil yang tidak sebanding dengan usia mereka. Di sinilah stunting bukan sekadar istilah medis, melainkan kenyataan pahit yang kami temui di lapangan.

Sebagai prajurit, kami terbiasa menghadapi medan sulit tetapi melihat anak-anak bangsa tumbuh tanpa cukup asupan nutrisi, itulah medan yang paling mengguncang hati.

Pelaksanaan Posyandu terpadu dan makanan bergizi secara gratis

Kami pun menjawab tantangan itu dengan aksi nyata, melalui program Posyandu terpadu, kami mendatangkan tenaga kesehatan, mendata anak-anak, menimbang berat badan, mengukur tinggi, dan memantau perkembangan mereka secara langsung.

Tak hanya itu, kami juga membagikan makanan bergizi secara gratis dari telur, sayuran, susu, hingga makanan tambahan balita yang bernutrisi. Bagi kami, sepotong telur rebus bisa jadi lebih bermakna daripada medali, karena ia menjadi bagian dari harapan hidup yang lebih baik.

Setiap kali kami menyaksikan ibu-ibu menggendong bayinya dengan tatapan optimis, kami tahu bahwa ini bukan sekadar program, ini adalah perlawanan terhadap ketidakadilan yang diam-diam menggerogoti generasi penerus bangsa.

TNI hadir bukan hanya di medan perang, tapi juga di dapur-dapur kecil masyarakat pelosok, memastikan tidak ada lagi anak Indonesia yang tumbuh dengan tubuh kerdil karena negara lalai memberi perhatian.


Pendampingn pembukaan lahan tidur seluas 2,5 hektar

Lahan Tidur Untuk Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan bukan sekadar soal sawah dan ladang ini adalah soal martabat. Di Pigapu, kami melihat lahan tidur yang terbentang begitu luas, tanah yang diam seolah menunggu tangan-tangan yang mau menghidupkannya. Maka kami datang, bukan untuk menggurui, tapi untuk memberdayakan.

Kami menyerahkan bibit unggul, pupuk, dan alat pertanian kepada kelompok tani yang sudah lama menanti uluran tangan. Bukan semata bantuan, tapi percikan awal dari perubahan besar.

Kami dampingi mereka membuka lahan tidur seluas 2,5 hektar. Dengan semangat gotong royong, warga bergandengan tangan bersama Satgas TMMD menebas semak, mencangkul tanah, dan menanam harapan.

Setiap benih yang ditanam bukan hanya akan menghasilkan panen, tetapi juga rasa percaya diri bahwa mereka mampu menjadi tuan di tanah sendiri. Kami percaya bahwa kemandirian pangan adalah pondasi kemerdekaan sejati.


pendampingan belajar teknik budidaya yang benar mulai dari pemilihan bibit, pemberian pakan, hingga pemeliharaan kolam

Budidaya Ikan Lele

Di tengah tantangan alam Mimika yang penuh dengan rawa dan lahan basah, kami melihat peluang yang tak kalah besar dari pertanian budidaya ikan lele. Budidaya ini bukan hanya sekadar usaha tani, melainkan sebuah jembatan harapan baru bagi masyarakat Kampung Pigapu untuk meningkatkan ketahanan pangan dan pendapatan keluarga.

Dengan bantuan kolam terpal yang kokoh dan bibit lele berkualitas, kami dampingi warga belajar teknik budidaya yang benar mulai dari pemilihan bibit, pemberian pakan, hingga pemeliharaan kolam. Suasana semangat bergotong royong terasa hangat saat kolam-kolam mulai terisi air dan bibit lele dilepaskan. Anak-anak dan orang dewasa sama-sama antusias menyaksikan pertumbuhan ikan yang menjadi simbol kehidupan baru.

Kami percaya bahwa lewat budidaya ikan lele, masyarakat tidak hanya mendapatkan sumber protein murah dan sehat, tetapi juga membuka peluang ekonomi yang lebih baik. Inilah bukti bahwa pembangunan berkelanjutan bukan hanya soal fisik, tetapi juga memberdayakan potensi lokal agar mereka bisa mandiri, kuat, dan sejahtera dari dalam.

Penyuluhan dalam kegiatan non fisik

Membangun Jiwa dan Pengetahuan

Kami sadar bahwa membangun rumah, jembatan, dan sumur hanyalah satu bagian dari misi besar kami. Bangunan bisa berdiri, tapi tanpa pemahaman dan pengetahuan, pembangunan tidak akan benar-benar hidup. Karena itulah kami menyusun rangkaian kegiatan non-fisik yang menyentuh bukan hanya logika, tetapi juga nurani dan harapan masa depan.

Kami menggelar penyuluhan pemanfaatan hasil laut kepada masyarakat nelayan. Tidak hanya memberi edukasi tentang teknik tangkap ramah lingkungan, kami juga menyerahkan bantuan jaring ikan yang bisa langsung digunakan untuk menambah hasil tangkapan mereka. Kami percaya bahwa laut bukan hanya sumber pangan, tapi juga sumber masa depan yang harus dikelola dengan bijak.

Masalah stunting juga menjadi perhatian besar kami. Maka, kami menyelenggarakan penyuluhan kesehatan bersama tenaga medis, menyentuh ibu-ibu dan remaja putri dengan informasi penting soal gizi, pola asuh, dan sanitasi. Materi berat ini kami sampaikan dengan bahasa yang ringan, disertai praktik langsung, dan tentunya disertai posyandu serta pembagian makanan bergizi secara gratis.

Tak kalah penting, kami menyuntikkan semangat cinta tanah air lewat Pembekalan Wawasan Kebangsaan (Wasbang) dan Bela Negara (Belneg). Anak-anak sekolah, pemuda, dan para tokoh masyarakat berkumpul, berdiskusi tentang makna menjadi bagian dari Indonesia. Mereka mendengar, bertanya, bahkan menangis ketika lagu “Tanah Airku” kami putar menjelang malam.

Kami juga menggelar penyuluhan hukum, termasuk tentang bahaya narkoba, lem aibon, dan miras, yang telah merusak banyak generasi muda di wilayah-wilayah terpencil. Tak ketinggalan, kami membahas hukum KDRT dan peranan hukum dalam masyarakat, membangun kesadaran bahwa hukum bukan alat menakutkan, tapi sahabat yang melindungi.

Malam hari, kami putar film bertema pembangunan. Di lapangan terbuka yang kami sulap jadi bioskop mini, anak-anak duduk bersila, orang tua membawa lampu minyak, dan tawa serta tepuk tangan kadang terdengar di sela-sela cerita. Siangnya, kami ajak pelajar bermain sambil belajar menggunakan Metode Gasing, sebuah cara belajar matematika yang cepat dan menyenangkan.

Dari semua kegiatan ini, kami tidak hanya membangun masyarakat. Kami sedang menumbuhkan generasi baru: generasi yang sehat, cerdas, dan sadar akan jati dirinya sebagai bagian dari bangsa yang besar. Karena membangun Indonesia bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal jiwa dan kesadaran.

Anak-anak yang turut serta dalam kegiatan TMMD

Kemanunggalan yang Terasa Nyata

Tak semua perjuangan membutuhkan peluru atau deru kendaraan tempur. Di Pigapu, senjata kami adalah peluh yang menetes di dahi, waktu yang kami korbankan, dan hati yang kami curahkan. Setiap tetes keringat yang mengalir saat membangun rumah, mengolah tanah, menyusun jembatan kayu, dan membimbing warga adalah bukti nyata bahwa kami hadir bukan untuk sekadar menyelesaikan tugas, tapi untuk mengabdi dengan sepenuh jiwa dan rasa cinta kepada sesama anak bangsa.

Penghargaan tertinggi yang kami terima bukanlah medali, pangkat, atau tanda jasa yang terpampang di dada. Justru yang paling berharga adalah senyum tulus dari anak-anak, yang kini bisa bermain di halaman rumah baru mereka, tertawa bebas tanpa takut terperosok lumpur atau terpeleset di jalan rusak.

Itu adalah hadiah paling murni yang tak bisa dibeli dengan apa pun di dunia ini. Tepukan tangan hangat dari ibu-ibu, yang sambil menghidangkan papeda berkata pelan, “Bapa tentara, Tuhan berkati, ko sudah datang bantu kami,” memberi kekuatan lebih dari seribu kata motivasi.

Tak terlupakan pula tatapan mata lelaki tua yang tak mampu berkata banyak, hanya menepuk bahu kami sambil berucap, “Ko tentara baik, jang lupa Pigapu e... Torang sayang ko semua.” Ungkapan sederhana itu seperti peluru semangat yang menembus relung hati kami.

Kata-kata itu bukan sekadar ungkapan syukur, melainkan pengakuan tulus dari rakyat kecil yang akhirnya merasa diperhatikan, dimanusiakan, dan disayangi oleh bangsanya sendiri.

Momen-momen itu mengajarkan kami bahwa keberhasilan tak bisa diukur semata dari apa yang terlihat mata. Keberhasilan sesungguhnya adalah ketika kami berhasil membangun jembatan hati menghapus rasa terpinggirkan, merajut harapan baru, dan memulihkan kepercayaan bahwa negara ini milik semua, dari Sabang sampai Merauke, dari Jakarta sampai Pigapu.

Di tanah yang dahulu sunyi dari perhatian ini, kami tidak hanya membangun rumah, sumur, dan jembatan kami membangun persaudaraan, mengobarkan semangat kebersamaan, dan menyalakan cahaya bahwa Indonesia hadir, dan tidak pernah lupa.

Tim Wasev tinjau sasaran kegiatan TMMD

Tim Wasev dan Bukti Cinta dari Negara

Kehadiran Tim Wasev dari Mabesad, yang dipimpin langsung oleh Waaster Kasad Bidang Wanwil dan Kermater, Brigjen TNI Heri Susanto, membawa energi baru bagi kami di Pigapu.

Dengan penuh perhatian, beliau menyapa satu per satu warga, mendengar cerita, dan menyerap segala aspirasi yang mereka sampaikan. Kehadiran beliau bukan sekadar seremonial, melainkan bukti nyata bahwa negara benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat, menyatu dalam setiap denyut kehidupan mereka.

Dialog hangat antara Tim Wasev dan warga membuka ruang bagi harapan baru. Brigjen Heri Susanto menegaskan bahwa pembangunan yang kami lakukan bersama bukanlah kegiatan sesaat, melainkan bagian dari komitmen berkelanjutan negara untuk membangun Papua dari akar rumput.

Pesan beliau menggema dalam hati kami semua bahwa negara tidak hanya hadir hari ini, tapi akan terus hadir, berdampingan dengan rakyat dalam setiap langkah perjuangan mereka.

Momen itu menjadi pengingat bahwa TMMD bukan sekadar tugas militer, tapi juga wujud cinta dan tanggung jawab sosial. Di Pigapu, dengan semangat kebersamaan, kami merasakan bahwa setiap kerja keras dan pengorbanan kami adalah bagian dari perjalanan panjang membangun masa depan yang lebih cerah untuk seluruh masyarakat Kabupaten Mimika.

Rumah indah menjadi salah satu jejak TMMD Ke 124 Kodim 1710/Mimika

Jejak Kami, Harapan Mereka

Di Pigapu, kami belajar bahwa membangun Indonesia tak selalu butuh pidato megah atau panggung besar. Cukup satu senyum anak, satu pelukan ibu, dan satu jabat tangan dari lelaki tua yang berkata, "Ko su jadi anak Papua sekarang." Di sini, pengabdian tak diukur dari pangkat, tapi dari kesediaan untuk duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan bekerja tanpa pamrih bersama masyarakat.

Bumi Cenderawasih memberi kami lebih dari sekadar tugas ia memberi pelajaran hidup. Tentang kesabaran dalam hujan deras yang membasahi jalan tanah. Tentang kegigihan di tengah terik matahari saat mengangkat balok dan menyusun genting. Tentang kehangatan persaudaraan yang tumbuh di tengah kesederhanaan. Kami datang membawa palu dan semen, tapi pulang dengan hati yang penuh cinta dan semangat baru untuk terus berbuat bagi negeri.

Kini TMMD Ke-124 telah menutup lembar kegiatannya, tapi cerita tentang cinta, perjuangan, dan kebersamaan di Pigapu akan terus hidup. Di setiap rumah panggung yang berdiri kokoh, di setiap jembatan kayu yang menghubungkan hati, dan di setiap sumur air bersih yang mengalirkan harapan. Kami meninggalkan jejak bukan untuk dikenang sebagai pahlawan, tapi sebagai saudara yang pernah hadir dan mencintai tanah ini seperti milik sendiri.

Editor : Darul Muttaqin

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network