BALI, iNewsJayapura.id - Kementerian Perindustrian mendorong pembelian produk industri dalam negeri untuk mendongkrak Pertumbuhan Ekonomi Nasional (PEN) melalui kegiatan Business Matching.
Kegiatan tersebut digelar kerjasama Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemenristek).
Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan bahwa kegiatan ini untuk melaksanakan amanat Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi, serta dalam rangka menyukseskan gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI).
Mengusung tema “Kemandirian Produk Dalam Negeri Menuju Indonesia Emas”, acara ini merupakan ‘jembatan’ dipertemukannya data kebutuhan produk dalam negeri dari pemilik anggaran dengan produsen yang telah tercatat dalam data Base Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut B. Pandjaitan dalam sambutan Penutupan Business Matching Belanja Produk Dalam Negeri.
Kegiatan tersebut mempertemukan pelaku industri selaku produsen dengan pengguna, khususnya yang menggunakan anggaran pemerintah APBN maupun APBD melalui pengadaan barang dan jasa, dengan target identifikasi Rp1.200 triliun agar bisa diserap perusahaan dalam negeri.
Sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo selalu mengingatkan kepada kementerian/lembaga, pemerintah daerah, maupun BUMN/BUMD untuk terus meningkatkan penggunaan produk Dalam Negeri melalui pengadaan barang dan jasa.
Direktur Falken UPVC, Syamsunar mengatakan, dirinya selaku pelaku industri dalam Negeri berterimakasih kepada Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian dan seluruh jajaran yang terus mendorong produktivitas dan peningkatan daya saing dengan terus menggalakkan pembelian produk dalam negeri khususnya yang sudah memiliki TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri).
Dia juga mengapresiasi Kementerian PUPR yang punya komitmen tinggi, khususnya dalam penggunaan produk Dalam Negeri. Menurutnya, apa yang dilakukan Kementerian PUPR bisa menjadi contoh dalam penyerapan pembelian produk dalam negeri.
Syamsunar mengatakan, perlunya kontinuitas serta monitoring dari pemerintah terhadap pelaku "industri nakal" yang memanfaatkan TKDN sebatas formalitas, lantaran untuk memiliki nilai TKDN tinggi, salah satu syaratnya harus memakai bahan baku yang berasal dari industri dalam Negeri.
"Masalahnya yang terjadi di lapangan, apakah industri – industri yang sudah dibela pemerintah ini tetap berkomitmen membeli/memakai bahan baku dari dalam negeri?," kata Syamsunar dengan nada bertanya.
"Kemudian, apakah para pelaku industri yg sudah memiliki Sertifikat TKDN juga melakukan proses produksi di Dalam Negeri?," ucapnya dalam keterangan tertulis, Selasa (12/3/2024).
TKDN hadir sebagai wujud nyata dari Nasionalisme Produk, industri yang bersertifikasi TKDN hendaknya konsisten dan punya komitmen terhadap keinginan pemerintah meningkatkan produktivitas dan daya saing yang tinggi.
"Awalnya membeli bahan baku produk dalam negeri, namun setelah mengantongi sertifikat TKDN, kembali lagi gunakan bahan baku impor, atau awalnya produknya diproduksi di Dalam Negeri tapi di perjalanan tetap saja kembali mengimpor produk impor yang sudah jadi, yang kemudian di cap merek atau label produk lokal yang bersertifikat TKDN," ungkapnya.
Dia menyebut, efek jangka panjangnya industri dalam Negeri akan rontok dari hulu hingga hilir. Oleh karena itu, pengawasan dan monitoring terhadap Industri yang telah mengantongi Sertifikat TKDN sangat penting, mengingat persaingan industri dewasa ini sangat tinggi, khususnya menghadapi banjirnya barang impor dari China.
"Sosialisasi khususnya di Pemerintah Daerah baik tingkat I maupun II dalam belanja produk dalam negeri yang telah ber- TKDN rasanya perlu ditingkatkan. Bila perlu ada sanksi yang tegas jika barang di dalam negeri tersedia tapi masih memakai produk Impor," tegasnya.
Dia berharap, perlunya penguatan dalam bentuk regulasi khususnya terhadap sistem Pembayaran dari Main Kontraktor ke Subkontraktor. Dalam hal ini, posisi pelaku Industri Kecil dan Menengah adalah Subkontraktor yang mati hidupnya bergantung pada pembayaran yang tidak terlalu lama dan terbayar, karena terbatasnya modal kerja.
"Dengan demikian, niat baik Pemerintah melindungi Industri Dalam Negeri dengan meningkatkan belanja produk dalam negeri tidak menjadi sia - sia di ujungnya," ujarnya.
Editor : Sari