JAYAPURA, iNewsJayapura.id - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKKP RI) telah menerima tujuh aduan terkait kasus pelanggaran pada penyelenggaraan Pemilu 14 Februari 2024.
Anggota DKPP RI, Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, dari tujuh kasus tersebut, satu diantaranya sementara dalam proses persidangan.
"Enam lainnya masih menunggu proses persidangan. Materinya masih diverifikasi, sehingga belum ada pelimpahan berkas," kata Ratna usai kegiatan Ngobrol Etika bareng Media (Ngetren Media) di Jayapura, Sabtu (27/4/2024).
Ratna mengatakan, kecurangan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, termasuk di Papua berpotensi terjadi.
Berkaca pada Pemilu lalu, ujar Ratna, banyak kecurangan yang terjadi, diantaranya ketidaknetralan ASN, terjadi politik uang, dan ketidaknetralan birokrasi atau penyalahgunaan wewenang.
"Kecurangan tersebut masih berpotensi terjadi pada Pilkada mendatang, maka kita harus melakukan langkah antisipasi lantaran kepentingan daerah terhadap kepemimpinan yang akan terpilih sangat tinggi," ucapnya.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, kata Ratna, yang harus dilakukan adalah menyiapkan seluruh jaringan masyarakat lantaran pengawasan tidak bisa hanya dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
"Harus membangun kesadaran bahwa Pilkada milik kita, kepentingan kita melahirkan pemimpin yang kredibel atau memiliki kualifikasi yang dibutuhkan masyarakat," tegasnya.
Sementara itu, Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Papua Unsur Masyarakat, Hanny Tanamal mengungkapkan, satu kasus yang berproses saat ini yaitu pelanggaran kode etik anggota Bawaslu Kepulauan Yapen.
Hanny pun berharap Pilkada yang akan berlangsung November mendatang dapat berjalan lebih baik dari Pemilu sebelumnya.
"Ada netralitas ASN, politik uang lebih diminimalisir agar tidak menjadi persoalan yang menimbulkan konflik antar masyarakat," kata Hanny.
Menurutnya, potensi siklus berulang pelanggaran etik Pemilu dan Pilkada 2024 secara teknis dan praktek pemilu tidak ada yang berbeda antara praktik Pemilu Serentak seperti Pemilu 2019 maupun dengan penyelenggaraan model Pilkada serentak seperti pada Pilkada 2015, 2017, 2018 dan 2020.
"Perbedaannya hanya pada tahapannya berhimpit dan berjalan dalam waktu yang bersamaan pada tahun yang sama, serta basis peraturannya yang berbeda," ujar Hanny.
Oleh karena itu, sebut Hanny, dari sisi potensi pelanggaran etiknya dalam Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 bisa saja tidak jauh berbeda dengan kejadian pelanggaran etik pada pemilu sebelumnya yang kerap berulang.
Editor : Sari