Anggota DPRPP Soroti Surat Edaran Bupati Jayawijaya: Rekonsiliasi Perlu Tapi Jangan Batasi Hak Warga

JAYAWIJAYA, iNewsJayapura.id — Anggota DPR Papua Pegunungan, Festus Menasye Asso, menanggapi secara kritis Surat Edaran Bupati Jayawijaya Nomor 100.3.4.2/2531/BUP yang menghimbau penghentian seluruh aktivitas masyarakat pada Kamis, 31 Juli 2025, dalam rangka pelaksanaan rekonsiliasi daerah.
Menurut Festus, rekonsiliasi merupakan langkah positif untuk memulihkan kondisi sosial dan keamanan di Jayawijaya. Ia menyatakan dukungannya terhadap upaya pemerintah daerah untuk menghidupkan kembali semangat kebersamaan dan perdamaian seperti era 1990-an. Namun, ia menilai ada kekeliruan dalam penerapan surat edaran tersebut yang berpotensi menyalahi prinsip hukum.
“Surat edaran itu bersifat imbauan, bukan produk hukum yang bisa melarang masyarakat untuk beraktivitas. Kalau ada pelarangan, maka harus didasari aturan hukum yang sah dan memiliki kekuatan mengikat,” kata Festus dalam pernyataannya, Rabu (30/7/2025).
Ia menekankan bahwa hak warga negara untuk beraktivitas telah dijamin oleh undang-undang. Karena itu, masyarakat Jayawijaya diminta untuk tidak merasa tertekan dan tetap bisa menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasa, termasuk berkebun, berdagang, dan kegiatan lainnya.
“Yang ingin ikut dalam kegiatan rekonsiliasi juga silakan, itu pilihan bebas. Namun tidak boleh ada tekanan kepada masyarakat yang ingin tetap menjalankan aktivitas normal,” lanjutnya.
Festus juga mengingatkan aparat penegak hukum, mulai dari Kepolisian, TNI, hingga Satpol PP, agar tidak melakukan tindakan yang melampaui batas. Ia menegaskan bahwa surat edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk tindakan paksa atau penegakan hukum di lapangan.
“Kami harap Kapolres, Dandim, dan seluruh aparat penegak hukum berhati-hati dalam menerapkan edaran ini. Jangan sampai terjadi tindakan sewenang-wenang terhadap warga,” tegasnya.
Mengakhiri pernyataannya, Festus menekankan bahwa rekonsiliasi harus lahir dari kesadaran bersama, bukan melalui paksaan. Ia berharap pemerintah daerah tetap membuka ruang dialog dan mengedepankan pendekatan yang inklusif dan humanis.
Festus juga mengingatkan bahwa hak dan kebebasan warga negara telah diatur dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama, memilih pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal serta bebas menyatakan pendapat, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 23 dan Pasal 29, yang menjamin hak atas kebebasan berpendapat dan kebebasan bergerak. Karena itu, menurutnya, segala bentuk pembatasan harus berdasarkan hukum formal, bukan hanya imbauan administratif.
Editor : Darul Muttaqin