Berdasarkan Pasal 124 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 yang telah mengalami beberapa kali perubahan terakhir dengan PP No. 78 Tahun 2012 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang berwenang mengusulkan pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada Menteri Dalam Negeri adalah Gubernur.
Artinya, tidak ada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Papua untuk mengusulkan pemberhentian sementara kepada klien kami sebagai Plt. Bupati Mimika.
Oleh karena itu, kami telah mengajukan keberatan administratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Papua atas tindakannya tersebut, dan surat keberatan tersebut telah kami salin kepada Presiden RI, Menteri Dalam Negeri, Jaksa Agung, dan Jamwas Kejaksaan Agung.
Selain itu, kami juga sedang melakukan upaya ke Mahkamah Konstitusi dan telah mendaftarkannya dengan nomor Perkara 60/PUU-XXI/2023 mengenai Pengujian Materiil Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang berbunyi: "Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD jika diduga melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU Pemda tersebut bertentangan dengan jaminan kepastian hukum yang adil serta tidak memberikan perlindungan terhadap martabat dan hak-hak klien kami, serta tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, jika tidak diartikan: "Tidak berlaku bagi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang tidak ditahan."
Upaya ini sangat penting bagi hak konstitusional klien kami, karena dalam menjalani proses hukumnya, klien kami tidak ditahan, baik dalam dakwaan pertama yang telah diputus oleh Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Jayapura, yang menyatakan dakwaan tersebut batal demi hukum, maupun dalam dakwaan kedua (dakwaan baru) yang diajukan kembali oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Papua.
Artinya, dengan tidak ditahannya Johannes Rettob dalam 2 (dua) kali dakwaan atas dugaan tindak pidana korupsi ini, berdasarkan penalaran yang wajar menunjukkan bahwa tidak ada keyakinan yang kuat dari aparat penegak hukum atau majelis hakim bahwa Pemohon telah diduga kuat melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Terlebih lagi, dalam perkara sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jayapura Kelas I.A, berdasarkan Putusan Nomor 2/Pid.Sus-TPK/2023/PN.Jap., menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDS-02/TMK/02/2023, tertanggal 01 Maret 2023, batal demi hukum.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait