Pigapu Bersolek Sambut Perubahan
Tanggal 6 Mei 2025. Kampung Pigapu seperti tengah berdandan layaknya seorang anak gadis menyambut pesta. Sejak pagi, udara dipenuhi aroma persiapan dan semangat gotong royong. Bambu-bambu berdiri tegak, mengangkat merah putih dengan bangga, sementara umbul-umbul berwarna-warni menari lincah mengikuti arah angin yang datang dari Laut Arafura.
Warga bergotong royong menghias jalan-jalan kecil dengan kreasi sederhana namun sarat makna. Ini bukan sekadar sambutan, ini adalah bentuk cinta mereka kepada negeri, yang hadir dalam wajah para prajurit TNI.
Santap Sehat Bersama Masyarakat
Upacara pembukaan digelar dengan penuh khidmat, dibalut kehangatan, suara doa mengiringi langkah kami, dan setelahnya, tawa pun terdengar dalam santap sehat bersama masyarakat sebuah momentum yang melampaui sekadar makan bersama, di sana, tak ada sekat antara pejabat, prajurit, dan warga.
Di bawah tenda sederhana yang berdiri di tengah lapangan terbuka, kehangatan tak hanya berasal dari sinar matahari pagi, tetapi juga dari kebersamaan, kami menyantap hasil bumi dan laut kampung ini, merasakan bahwa inilah bentuk paling nyata dari kemanunggalan.
Bupati Mimika, Bapak Johannes Rettob, hadir dan bersalaman dengan warga satu per satu, menunjukkan bahwa negara tak hanya melihat, tapi juga hadir dan merasakan.
Di atas pundak Satgas TMMD, kami sadari, bukan hanya tertulis tugas membangun rumah atau jembatan. Yang jauh lebih berat adalah tugas membangun kebersamaan, harapan, dan rasa percaya. Tugas untuk memastikan bahwa setiap anak Pigapu merasa didengar, setiap orang tua merasa dihormati, dan setiap warga tahu bahwa negeri ini tak akan pernah menyerah pada keterpencilan. Kami tidak datang untuk diistimewakan. Kami datang untuk menyatu menjadi bagian dari cerita mereka.
Satu Paku, Satu Harapan
Tak ingin momentum terbuang, kami bergerak cepat. Setelah upacara pembukaan, Satgas TMMD segera memulai apa yang telah lama dirindukan warga: pembangunan nyata yang menyentuh langsung kehidupan mereka.
Kami mendistribusikan material kayu, paku, seng, dan alat pertukangan dengan penuh semangat, seolah tenaga kami dipacu oleh antusiasme warga yang ikut menyingsingkan lengan baju. Di titik-titik yang telah ditentukan, pondasi rumah panggung mulai digali, seakan bumi pun ikut memberi restu.
Pembuatan rumah panggung Type 36
Di tengah terik matahari dan tanah basah yang masih menyimpan jejak hujan malam, gergaji mulai bersuara mengerat kayu dengan irama tajam namun teratur. Setiap palu yang dihentakkan seakan memaku lebih dari sekadar kayu; ia memaku harapan, memaku ikatan kebersamaan.
Potongan-potongan kayu yang tadinya tak beraturan kini mulai bersatu, membentuk dinding, tiang, dan atap. Seperti puzzle yang menyatu perlahan namun pasti, satu demi satu rumah panggung Type 36 mulai menampakkan wujudnya. Anak-anak berdiri di sisi pembangunan, mata mereka berbinar-binar menyaksikan bagaimana rumah impian mulai berdiri dari tanah mereka sendiri.
"Bapak tentara, ini rumah baru su jadi betul kah? Beta tra mimpi ini?" tanya seorang bocah dengan mata berbinar, tangannya memegang palu kecil yang diberikan salah satu anggota Satgas. Di sisi lain, seorang bapak tua yang ikut membantu membawa papan berkata sambil tersenyum, "Torang pung kampung sekarang bagini... luar biasa e. Dulu kosong, sekarang ko lihat sendiri Tuhan kirim TNI untuk datang bantu torang."
Bagi kami, ini bukan sekadar membangun rumah. Ini adalah membangun tempat berlindung, membangun harga diri warga yang selama ini harus berdamai dengan keterbatasan. Setiap bilah papan yang disusun, setiap genting yang dipasang, adalah wujud dari janji kami bahwa negara hadir tidak hanya untuk melihat, tapi untuk bekerja bersama, menyatu dalam peluh dan debu, demi masa depan yang lebih layak untuk warga Pigapu.
Editor : Darul Muttaqin
Artikel Terkait